Yts: Ibu

18 March 2021


Dalam tujuh hari, Ibu akan berulang tahun. Tahun ini adalah saat terakhirnya menikmati usia kepala lima.

Saya tak dapat menerka kapan terakhir kali saya menulis untuknya. Jika ditelusuri melalui dokumen digital, saya menulis khusus untuk Ibu adalah … aduh, saya lupa! Saat itu saya masih menempuh pendidikan demi gelar sarjana. Saat membaca kembali tulisan tersebut saya hanya bisa menahan malu. Betapa buruknya tulisan saya tempo hari. Tak sesuai kaidah penulisan yang baik, alur yang serampangan, dan tujuan tulisan yang absurd.

***

Lulus SMP, Ibu langsung mengambil SPG (Sekolah Pendidikan Guru) di Cirebon. Ibu diangkat menjadi pegawai negeri dan menjadi guru di Cirebon. Garis semesta yang akhirnya membawa Ibu bertemu Ayah. Sayang, pertemuan mereka di Cirebon, sangat jauh dari skenario FTV (saya masih berharap bahwa ayah saya adalah seorang pengusaha kaya, seperti dalam FTV). Kupu-kupu mengepakkan sayap dalam perut Ayah, pun ibu. Setelah menikah dengan Ayah, Ibu diterbangkan ke Bontang, Kalimantan Timur. Ibu mengajar SD Inpres di sana.

Saat itu, ia mengajar di gedung sekolah yang berbentuk rumah panggung sepenuhnya terbuat dari kayu. Bangunan yang dapat mendefinisikan kata kumuh. Saya masih ingat betul bagaimana bunyi yang dihasilkan anak tangga reot yang ibu titi sebelum dapat masuk ke kelas. Entah bagaimana caranya, tangga yang reot itu mampu ibu naiki dengan saya atau adik-adik saya di dalam dekapannya.

Sepulang ia mengajar di sekolah, ia tetap harus berprofesi guru setibanya di rumah. Ibu mengajar saya dan adik-adik untuk menghadapi pelajaran di sekolah. Ibu selalu memberi pertanyaan-pertanyaan yang berkaitan dengan pelajaran yang sedang saya dan adik-adik saya pelajari untuk mengisi titik-titik pertanyaan pekerjaan rumah yang guru sekolah kami berikan.

Ia mulai mengajar di sekolah dasar sejak tahun 1982 (kalau saya tak salah ingat). Jika dijumlah, bilangan ibu mengajar sudah mencapai 39 tahun, jauh lebih tua daripada usia saya sekarang. Jika diasumsikan dalam satu tahun ia mengajar 30 anak, maka total murid yang telah ia ajar adalah 1170 orang. Saya pikir bila separuhnya saja dapat melanjutkan ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi, saya anggap ibu telah berhasil mentransfer ilmu yang ia miliki.

Dengan jumlah sedemikian banyak, tak heran jika kami, anak-anaknya, kerap mendapat permintaan pertemanan dalam jejaring sosial digital, sebut saja Facebook. Seringkali dahi kami berkerut saat membaca permintaan pertemanan dari orang yang namanya tak kami kenal sama sekali, tapi setelah melihat nama ibu terpampang dalam daftar temannya, kami mengerti. Mungkin, “Eh, aku udah temenan sama anaknya Bu Yuti!” adalah kebanggaan buat mereka.

***

Tahun ini sudah memasuki masa persiapan pensiun Ibu. Beberapa rencana untuk menghabiskan masa pensiunnya sudah ia siapkan dari beberapa tahun silam. Ia telah membangun rumah di desa kelahirannya, dengan halaman belakang yang luas. Ia baru saja membangun taman belajar mengaji untuk anak-anak di sekitar rumah. Yang jelas, rumah tersebut adalah tempat kembali saat saya, kami, anak-anaknya, ingin pulang.

Ada satu hal yang saya syukuri dari pandemi: masa persiapan pensiun ibu lebih panjang. Ibu tak perlu lagi mengajar ke sekolah. Ibu tak perlu lagi berjalan kaki untuk mencari ojek yang akan mengantarnya ke sekolah. Selama 39 tahun mengajar, saya yakin tak pernah ada di kepala ibu, bahwa ia akan menilai murid-muridnya via digital. Ibu akan memberi tugas lewat aplikasi percakapan yang kemudian akan dibalas oleh murid. Tidak, saya yakin ibu tak pernah berpikir akan seperti itu. Saya rasa ibu akan lebih suka menggoreskan pulpen warna merah di ujung sebelah kanan atas untuk memberi nilai.

Ibu memang tak selincah dulu saat ia masih mengajar di Bontang. Ia mampu meniti tangga kayu yang sudah reot sembari menggendong saya atau adik-adik saya untuk mengajar. Ibu tak pernah memasak lagi. Ibu tak pernah lagi membuat sambal terasi nikmat yang bisa membuat liur saya menetes saat menghirup aroma terasi dibakar di atas kompor. Bunyi ulekan beradu dengan cobek pun pelan-pelan sirna dari rumah.

Banyak hal yang telah berubah. Firsa dan Adhi sudah mempromosikan jabatan ibu. Dari ibu menjadi nenek. Saya, sebagai anak pertama, akhirnya tidak membuat ibu mengelus dada lagi karena (sudah tua) masih lajang. Saya menikah dengan perempuan terbaik, Mita. Fiska pun begitu. Ia sudah bisa menangis saat Arya menyebutkan namanya dan nama Ayah di akad pernikahan. Hanya Finzi yang harus menyelesaikan gelar sarjana agar Ibu merasa utuh sebagai orang tua.

Saya sadar. Tak ada yang bisa saya lakukan untuk memutarbalikkan umur, atau bahkan untuk memperlambat pertambahan usia ibu. Ibu semakin menua, pun saya. Saya bukan anak kecil lagi yang harus diceboki atau disuapi. Seperti apa yang Ramones bilang dalam lagunya, menjadi tua memang menyebalkan. Hal yang paling menyebalkan dalam pertambahan usia bukan penyakit asam lambung, rambut yang semakin menipis, dahi yang semakin luas, dan cicilan yang sebesar tanggung jawab kepada keluarga. Bukan, bukan itu. Hal yang paling menyebalkan dalam menjadi tua adalah melihat dan mengiringi orang tua yang semakin renta.

Saya sangat percaya tak ada anak yang sampai hati melihat orang tuanya menua. Saya tak ingin melihat rambut putih memenuhi kulit kepala ibu. Saya tak ingin melihat ibu kesakitan memegang lututnya. Saya tak ingin melihat ibu terlalu letih karena mengulek sambal terasi. Saya tak ingin melihat ibu menua.

Cara mengajar ibu telah berubah karena pandemi. Fisik ibu telah berubah. Status saya, kami, anak-anaknya telah berubah. tetapi ada satu hal yang tak akan pernah berubah.  Sejauh apa pun kami melangkah, sebanyak apa pun karya kami dinikmati orang lain, sedewasa apa pun kami, saya, kami, anak-anaknya, akan tetap dikenal sebagai “Oh, itu anak-anaknya bu guru.”

Selamat ulang tahun, Mama!

[Jakarta, 23:26 1 Maret 2021, Fikri]

Leave a comment