Hai! (2)

6 May 2020


Cerita tentangnya mengalami hiatus saat ajakan menonton acara musik ia tolak untuk ketiga kalinya. Setelah melihat tidak apa-apa di belakang lewat spion, saya mundur.

If you want me to expel
I’ll be your lullaby
If you wanna leave me behind
I’ll keep the wave in interval
Goodnight Electric – Interval

Konsentrasi saya alihkan ke skripsi. Sebagai manusia yang masih mendapat suplai finansial bulanan dari orang tua, saya menurut agar saya menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Sudah lebih dari tiga bulan, fail-fail skripsi saya biarkan menjamur di suatu lipatan memori komputer.

Saya yang kala itu masih dipenuhi rasa ingin berbeda, dengan pandirnya membuat skripsi yang menyusahkan diri sendiri. Harfiah, saya harus membanting tulang. Narasumber yang tak lazim harus saya wawancarai demi tambahan dua huruf di belakang nama panjang saya. Wawancara sambil mabuk pun hingga tengah malam beberapa kali saya lakukan, lantas mengutuk diri sendiri di pagi hari karena hasil wawancara yang tidak ada kaitannya dengan skripsi.

Metode penelitian yang saya lakukan juga membuat kening teman-teman berkerut. Padahal itu adalah saran dari dosen pembimbing yang sebisa mungkin secepatnya mencoret nama saya dari daftar mahasiswa yang harus ia ayomi. Tidak adanya skripsi pendahulu sebagai acuan membuat saya hampir semakin terjebak ke dalam palung kemalasan yang paling dalam.

Hingga pada suatu ketika semuanya berubah. Saya masukkan gigi lima dan menginjak pedal dalam-dalam untuk akselerasi maksimum. Satu semester teronggok, tiga bulan kemudian skripsi itu sudah punya struktur yang rapi. Ingat, yang menjadi sorotan adalah struktur. Saat saya ajukan kepada dosen pembimbing, ia hampir tak mengenali saya karena rambut saya sudah gondrong. Hahaha.

“Kamu mau jadi apa?”
“Saya mau jadi penulis, Pak. Bisa juga wartawan. Yang penting nulis.”
“Pantesan.”

Ia menutup mukanya dengan draf skripsi saya, kemudian mengambil spidol dari laci mejanya. Saya tak bisa melihat dengan jelas apa yang ia lakukan di balik lembaran skripsi. Yang saya tahu, spidol tersebut hanya beberapa kali mengenai helai kertas skripsi. Saya lega, tak banyak yang harus saya revisi, pikir saya.

Dosen pembimbing membolak-balik kertas demi kertas. Saya menunggu di depannya. Sepuluh menit berlalu, ia menaruh skripsi di atas meja, lantas menghela napas panjang.

“Kamu itu mau bikin cerpen atau skripsi? Kalimat kamu isinya majas semua! Ga ada kalimat formalnya! Perbaiki!”

Ia menyerahkan kembali skripsi kepada saya. Ternyata coretan tiap lembaran memang hanya dua, tetapi membentuk tanda silang yang menutup penuh satu halaman. Hahaha.

Saya kembali dengan perasaan yang lebih ringan. Dosen pembimbing hanya meminta saya memperbaiki kalimat saya, bukan rombak besar-besaran. Saya kira mengoreksi kalimat jauh lebih mudah daripada harus mengulang skripsi. Akhirnya, setelah lima tahun kuliah, perpustakaan di kampus pun saya kunjungi untuk pertama kalinya dengan niat yang tulus dan mulia. Saya bergegas menuju lorong yang penuh dengan skripsi pendahulu. Saya menyontek tata cara penulisan kalimat formal guna menyelesaikan skripsi.

Saya ambil beberapa skripsi yang memiliki judul menarik. Setidaknya bisa mengurangi kebosanan saat membaca, hahaha. Kata, kalimat, hingga paragraf saya pelajari betul. Saya amati, lalu tiru. Saya terapkan apa yang telah saya pelajari untuk memugar skripsi saya.

Satu paragraf lanjut ke paragraf berikutnya. Satu halaman ke halaman berikutnya. Satu bab ke bab setelahnya. Satu bimbingan ke bimbingan berikutnya. Saya menjelma menjadi mahasiswa yang pada umumnya! Saya bangga! Coretan dosen pembimbing semakin sedikit tiap pertemuan.

***

Hari itu saya sudah mengatur jadwal bimbingan dengan dosen. Saya datang sepuluh menit sebelum dosen tiba di ruangannya. Saya serahkan skripsi kepadanya. Ia menyambut. Membolak-balik halaman demi halaman, kemudian mengambil pena hitam dari lacinya. Ia membubuhkan tanda tangannya pada halaman judul skripsi.

“Siap sidang!” tulisnya mantap.

Saya meninggalkan ruangan setelah berterima kasih setulus-tulusnya.

***

Leave a comment