Punya rutinitas yang baru membuat saya harus adaptif. Yang tadinya saya tidur ketika dini hari, harus mengubah jadwal tidur sebelum tengah malam. Yang tadinya saya bisa menuju kampus dengan berjalan kaki, harus siap berdesak-desakan di dalam moda transportasi umum menuju kantor. Yang tadinya tugas bisa selesai dengan malas, harus diselesaikan sebelum tenggat waktu yang telah ditentukan.

Menjadi seorang karyawan adalah bab baru dalam cerita panjang saya. Termasuk rekening tabungan yang bertambah tiap bulan. Saya tak lagi bergantung pada orang tua untuk membeli sebungkus rokok atau teh manis dalam kemasan botol. Cita-cita naif dan pandir, seperti yang saya ketik di sekapur sirih, terwujud. Saya bisa menukar huruf dengan uang.

Saya bekerja dari pukul sepuluh hingga enam sore. Semuanya berhubungan dengan huruf dan kata. Koridor pekerjaan saya adalah memutakhirkan status akun media sosial kantor, membuat konten untuk layanan penyedia telekomunikasi (REG spasi blablabla), membuat press release jika musisi atau film di bawah naungan kantor menggelar konferensi pers, hingga membuat tagar untuk promosi. Bahkan beberapa kali bos meminta saya dan kolega satu divisi membuat skrip untuk acara televisi dan iklan.

Punya pekerjaan yang tidak ada kaitannya dengan hampir seluruh mata kuliah yang saya ambil saat kuliah adalah kesenangan yang baru. Saya menjadi gelas yang kosong. Semua saya tampung sebagai ilmu baru yang tak ada hubungannya dengan dua huruf tambahan di belakang nama panjang saya. Setiap hari, banyak hal baru yang saya serap.

Setahun bekerja, rasa yang tak pernah ada dalam kepala saya, hinggap dan melekat. Bosan? Mungkin. Namun, saya yakin itu bukan bosan. Ada hal yang merisak setiap saya berangkat kerja. Setiap pagi, bus umum yang saya tumpangi selalu memberi pertanyaan yang sama. Hingga saya mengambil kesimpulan bahwa jendela bus umum terdiri dari 10% kaca, 90% pertanyaan: Sampai kapan saya begini? Apa yang saya lakukan? Hanya mengetik untuk menunggu tanggal gajian tiba.

Pertanyaan itu semakin membesar dan menjelma menjadi serupa monster yang menakutkan. Saya takut. Saya merasa pekerjaan ini tak membuat saya bertambah besar. Saya merasa saya tak berfungsi dengan baik sebagai penulis. Saya merasa saya harus berbuat sesuatu untuk menjawab pertanyaan jendela bus umum.

Akhir 2012, saya ajukan surat pengunduran diri kepada atasan. Ia kaget dan memaksa saya untuk tetap tinggal. Paksaan atasan tidak bisa menjawab pertanyaan monster, saya kukuh mengundurkan diri dari kantor.

***


Yang muda lari ke kota
Berharap tanahnya mulia
Kosong di depan mata
Banyak asap di sana
Efek Rumah Kaca – Banyak Asap di Sana

Tak lama setelah saya dan ribuan orang lainnya mengenakan jubah hitam dengan topi konyol berbentuk segi lima, saya pintah ke Jakarta. Beruntung, saya tak harus menunggu lama untuk dapat merasakan pertambahan rekening pertama beberapa pekan setelah saya wisuda. Malah sebenarnya, saya sudah mendapat tawaran pekerjaan sebelum wisuda. Ada dua perusahaan di Jakarta menginginkan jasa saya (terdengar menggelikan, hahaha).

Pada hari yang sama, dua perusahaan mengharuskan saya menandatangani kontrak. Saya harus memilih antara pilihan menjadi wartawan olahraga dan penulis konten kreatif. Pilihan yang berat dari variabel pekerjaan. Selain alasan tak punya sepeda motor, pilihan wartawan saya coret, ditambah lagi dari variabel finansial, saya mantap memilih menjadi penulis konten kreatif (iya, gajinya lebih manusiawi).

Hari pertama kerja saya datang dengan pakaian yang rapi. Untung saja sebelum wisuda saya sudah memangkas rambut, dari sepunggung menjadi pria normal pada umumnya. Orang yang mewawancarai sekaligus akan menjadi kolega satu divisi mengantar saya berkeliling ruangan kantor. Saya dikenalkan pada pemilik perusahaan.

“Pak, ini content writer yang baru,” kolega membuka percakapan dengan bos. Saya menjulurkan tangan untuk memperkenalkan diri. Si bos menunjukkan ekspresi air muka yang senang dan heran. Saya rikuh mendapat pandangan seperti itu.

“Lo lulusan mana?” tanyanya.
“UGM, Pak. Jurusan ekonomi.”
“Oh, suka nulis ya?”
“Iya, Pak.”
“Bagus.”

Ketika saya pikir percakapan introduksi tersebut sudah selesai, bos memanggil saya.

“Fikri! Sini sebentar!”

“Duh, kenapa lagi?” pikir saya dalam hati. “Ada apa, Pak?”

“Lo kalau mau jadi karyawan di sini, jangan rapi kayak gitu! Di sini bebas! Masa penulis kreatif pake kemeja dan celana bahan kayak gitu. Pokoknya kalau besok masih kayak gini, lo ga usah kerja di sini lagi! Sana cari kerja di tempat lain!” ia memerintah.

“Hahaha, oke siap, Pak!” saya tertawa kecil meninggalkan ruangannya.

Mendapat bos dan atmosfer kerja yang menyenangkan akan memudahkan saya beradaptasi. Saya lihat sekeliling, ternyata memang perusahaan ini tak mengharuskan saya mengenakan kemeja untuk bekerja. Beberapa pria yang saya lihat sedang sibuk bekerja juga punya rambut yang gondrong. Kombinasi kaos dan rambut gondrong sudah membuat saya nyaman dengan kantor ini.

Saya memulai hari pertama kerja dengan perasaan yang campur aduk.

***

Hai! (2)

6 May 2020


Cerita tentangnya mengalami hiatus saat ajakan menonton acara musik ia tolak untuk ketiga kalinya. Setelah melihat tidak apa-apa di belakang lewat spion, saya mundur.

If you want me to expel
I’ll be your lullaby
If you wanna leave me behind
I’ll keep the wave in interval
Goodnight Electric – Interval

Konsentrasi saya alihkan ke skripsi. Sebagai manusia yang masih mendapat suplai finansial bulanan dari orang tua, saya menurut agar saya menyelesaikan apa yang telah saya mulai. Sudah lebih dari tiga bulan, fail-fail skripsi saya biarkan menjamur di suatu lipatan memori komputer.

Saya yang kala itu masih dipenuhi rasa ingin berbeda, dengan pandirnya membuat skripsi yang menyusahkan diri sendiri. Harfiah, saya harus membanting tulang. Narasumber yang tak lazim harus saya wawancarai demi tambahan dua huruf di belakang nama panjang saya. Wawancara sambil mabuk pun hingga tengah malam beberapa kali saya lakukan, lantas mengutuk diri sendiri di pagi hari karena hasil wawancara yang tidak ada kaitannya dengan skripsi.

Metode penelitian yang saya lakukan juga membuat kening teman-teman berkerut. Padahal itu adalah saran dari dosen pembimbing yang sebisa mungkin secepatnya mencoret nama saya dari daftar mahasiswa yang harus ia ayomi. Tidak adanya skripsi pendahulu sebagai acuan membuat saya hampir semakin terjebak ke dalam palung kemalasan yang paling dalam.

Hingga pada suatu ketika semuanya berubah. Saya masukkan gigi lima dan menginjak pedal dalam-dalam untuk akselerasi maksimum. Satu semester teronggok, tiga bulan kemudian skripsi itu sudah punya struktur yang rapi. Ingat, yang menjadi sorotan adalah struktur. Saat saya ajukan kepada dosen pembimbing, ia hampir tak mengenali saya karena rambut saya sudah gondrong. Hahaha.

“Kamu mau jadi apa?”
“Saya mau jadi penulis, Pak. Bisa juga wartawan. Yang penting nulis.”
“Pantesan.”

Ia menutup mukanya dengan draf skripsi saya, kemudian mengambil spidol dari laci mejanya. Saya tak bisa melihat dengan jelas apa yang ia lakukan di balik lembaran skripsi. Yang saya tahu, spidol tersebut hanya beberapa kali mengenai helai kertas skripsi. Saya lega, tak banyak yang harus saya revisi, pikir saya.

Dosen pembimbing membolak-balik kertas demi kertas. Saya menunggu di depannya. Sepuluh menit berlalu, ia menaruh skripsi di atas meja, lantas menghela napas panjang.

“Kamu itu mau bikin cerpen atau skripsi? Kalimat kamu isinya majas semua! Ga ada kalimat formalnya! Perbaiki!”

Ia menyerahkan kembali skripsi kepada saya. Ternyata coretan tiap lembaran memang hanya dua, tetapi membentuk tanda silang yang menutup penuh satu halaman. Hahaha.

Saya kembali dengan perasaan yang lebih ringan. Dosen pembimbing hanya meminta saya memperbaiki kalimat saya, bukan rombak besar-besaran. Saya kira mengoreksi kalimat jauh lebih mudah daripada harus mengulang skripsi. Akhirnya, setelah lima tahun kuliah, perpustakaan di kampus pun saya kunjungi untuk pertama kalinya dengan niat yang tulus dan mulia. Saya bergegas menuju lorong yang penuh dengan skripsi pendahulu. Saya menyontek tata cara penulisan kalimat formal guna menyelesaikan skripsi.

Saya ambil beberapa skripsi yang memiliki judul menarik. Setidaknya bisa mengurangi kebosanan saat membaca, hahaha. Kata, kalimat, hingga paragraf saya pelajari betul. Saya amati, lalu tiru. Saya terapkan apa yang telah saya pelajari untuk memugar skripsi saya.

Satu paragraf lanjut ke paragraf berikutnya. Satu halaman ke halaman berikutnya. Satu bab ke bab setelahnya. Satu bimbingan ke bimbingan berikutnya. Saya menjelma menjadi mahasiswa yang pada umumnya! Saya bangga! Coretan dosen pembimbing semakin sedikit tiap pertemuan.

***

Hari itu saya sudah mengatur jadwal bimbingan dengan dosen. Saya datang sepuluh menit sebelum dosen tiba di ruangannya. Saya serahkan skripsi kepadanya. Ia menyambut. Membolak-balik halaman demi halaman, kemudian mengambil pena hitam dari lacinya. Ia membubuhkan tanda tangannya pada halaman judul skripsi.

“Siap sidang!” tulisnya mantap.

Saya meninggalkan ruangan setelah berterima kasih setulus-tulusnya.

***

Bab II – Hai!

5 May 2020


Hingga tulisan ini diketik, kami berdua tak bisa mengingat bagaimana kami berkenalan. Saya tak pernah bisa ingat bagaimana cara saya mengetahui namanya, ia pun demikian. Saya tak pernah mampu mengingat-ingat bagaimana namanya ada di dalam daftar kontak dalam ponsel saya, juga Yahoo Messenger (Ia saya sudah tua). Saya tak pernah bisa ingat bagaimana ia bisa menjadi bagian dari hidup saya di masa kuliah, selain karena saya dan ia berada di kampus yang sama, hanya beda angkatan. Saya tak pernah bisa ingat.

Kami sudah pernah duduk sambil bercakap-cakap untuk mengingat-ingat kembali. Gagal. Kami mencoba membahas hal yang sama dengan ditemani bergelas-gelas alkohol, hasilnya tetap sama. Nihil. Kami sama-sama gagal untuk merunut kembali kronologis paragraf pertama namanya ada di dalam hidup saya.

Seberapa pun saya berusaha mengingat, memori saya hanya sampai kenyataan bahwa kami berdua sering menghadiri acara musik yang sama. Ia bersama teman-temannya, pun saya. Begitu sudah berada di depan panggung, kami akan bergabung, karena kami masih dalam satu lingkaran besar yang sama.

Mungkin entah setelah kali keberapa saya bertemu dengannya, kami bertukar identitas digital dan nomor ponsel. Kami mulai berinteraksi dalam dunia maya. Mulai dari bertegur sapa hingga obrolan yang santai. Sampai akhirnya saya memberanikan diri untuk mengajaknya pergi berdua saja tanpa teman-teman saya, tanpa teman-temannya, tentu dengan alasan yang serupa: menonton acara musik.

Ingatan yang endapannya paling kental adalah saat Goodnight Electric mampir di Jogja. Saya ajak ia menontonnya, ia menyanggupi.

“Ada Goodnight Electric nih! Mau nonton ga?”
“Boleh. Kapan?”

Percakapan itu diakhiri dengan persetujuan. Hari H, saya mandi. Bukan, bukan berarti saya jarang mandi. Namun mandi dengan serius hingga seluruh lekukan tubuh saya sabuni agar wangi. Hahaha. Tak lupa semprotan pengharum tubuh, saya jemput ia di kost. Ia sudah siap. Kami berdua pergi dengan sepeda motor yang saya pinjam dari teman kost. Karena kepandiran saya yang di luar batas nalar, kami tiba di lokasi saat acara sudah rampung. Hahaha.

“Terus sekarang gimana? Gue ga bisa pulang nih. Kost gue udah dikunci kalau jam segini!” ia mengeluh. Ia tak bisa masuk ke kamarnya karena aturan jam malam.

“Ya udah gue temenin aja sampai kost lo udah dibuka,” saya ajak ia melewati hari dengan duduk di emperan toko kelontong kontemporer di jalan Kaliurang. Kami bercerita banyak hal. Saya mengenalnya perlahan dari obrolan itu.

Saya antar ia pulang saat matahari sudah selesai mengintip. Pukul enam saya nyalakan mesin, ia membonceng.

“Eh, jangan anterin gue pulang deh. Anterin gue ke salon aja. Gue mau keramas, ga enak rambut bau rokok.”

***